Guru Honorer Dibalik Beban Hidup dan Tuntutan Kualitas

Opini – By: Rusdianto Samawa, Pengurus Partai Persatuan Pembangunan (PPP)  Kabupaten Sumbawa.

Sumbawa, Talikanews.com– Kontak pertamakali soal guru honorer dengan Yuyun Ketua Forum Komunikasi Guru Honorer Kab. Sumbawa. Kita ketemu disebuah Warung Begawan Tepi Sawah Kota Sumbawa.

Yuyun datang sendiri, sementara aku bersama seorang Zul Akbar, Desi Susanti dan Andi Karyawansyah dan Siti Rahmah.

Yun kusapa dalam keakraban, sambil sodorkan menu. Tapi, Yuyun pemalu, hingga akhir pertemuan tidak memesan apapun. Aku sendiri memesan kesukaan ku di Begawan adalah sepatnya. Namun, masih kalah enak dengan Sepat buatan istri ku sendiri.

[irp]

Kami pertama bertemu, tetapi karena masalah Guru Honorer membuat kami akrab hingga saat ini. Kami menikmati Sepat khas Sumbawa.

Yuyun menyampaikan kepada ku: “masalah guru honorer adalah masalah yang kompleks. Hampir tidak ada data valid jumlah guru honorer di Sumbawa karena jumlahnya terus berubah-ubah.” Katanya

Aku menjawab, sambil melihat data Pikiran Rakyat, 12/02/2016 seabrek daftar guru honorer: “15 tahun terakhir, meningkat sebanyak 860%. Yang awalnya berjumlah 84.600 orang menjadi 812.064 orang.

Namun, ada padangan lain dari seorang Guru Honorer bernama Siti Rahmah, bahwa: “Guru Honorer tidak mempunyai status hukum yang jelas dan lebih parahnya lagi dianggap Ilegal dengan adanya UU ASN No 5 Tahun 2014, dimana dalam pasal 6 yang diakamodir hanya ASN dan PPPK (Pegawai Pemerintah Perjanjian Kerja).” Katanya membatin

Padahal, pasal 14 ayat (1) huruf a UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dinyatakan: “dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahateraan sosial dan kesehatannya.” Pasal tersebut berlaku terhadap semua guru, baik guru PNS maupun Guru Honorer.

Rahmah, membatin karena pemerintah menuding Guru Honorer Illegal tanpa ada Surat Keputusan dari siapapun. Seharusnya, pemerintah tidak berpendapat seperti itu. Karena setelah menjadi sarjana. Kewajiban mereka adalah mengajar.

Lanjut Rahmah, bahwa: “Guru Honorer menuntut kepada pemerintah daerah pada dua item, yakni: pertama, SK Bupati yang sangat berharga bagi Guru Honorer karna untuk payung hukum yang jelas. Kedua, jaminan sosial, kesehatan dan keselamatan kerja. Itu saja yang diharapkan dari pemerintah daerah. Hewan satwa saja di lindungi kenapa Guru Honorer tidak bisa dilindungi statusnya.” Sergah Rahmah dengan nada tinggi.

Kemudian, sela-sela diskusi itu, Andi Karyawansyah mencoba menengahi permasalahan guru honorer yang menjadi benang kusut, sulit terurai. Andi katakan: “tidak dapat dipungkiri sebenarnya pemerintah pun telah memberikan perhatian kepada Guru Honorer dalam bentuk mengangkat tenaga honorer kategori 2 (K-2), memberikan kesempatan untuk mengikuti sertifikasi, memberikan tunjangan meskipun memang jumlahnya tidak besar dan belum semua guru honorer menerimanya.” Ungkap Andi mencoba rasionalisasikan persoalan.

Aku berupaya memberikan realitas fakta sebenarnya, bahwa “guru honorer harus dilihat dari hilir hingga hulu. Guru honorer diangkat oleh sekolah negeri dan swasta.” Jelas ku kepada teman-teman saat itu

Lanjut, “jumlahnya memang semakin tidak terkendali seiring bertambahnya jumlah sekolah, utamanya sekolah-sekolah swasta. Faktanya memang sekolah negeri utamanya pada jenjang SD banyak yang kekurangan guru. Hal tersebut adalah dampak dari tidak meratanya persebaran guru. Di satu daerah ada yang kelebihan guru, sedangkan di daerah lain kekurangan guru.” Tutup

Persoalan lainnya, Yuyun memberi pandangan akan banyak pejabat ingkar janji seperti Bupati Sumbawa disaat kampanye akan menuntaskan Guru Honorer.

Yuyun katakan: “Guru honorer di sekolah negeri hanya diangkat berdasarkan SK dari Kepala Sekolah, sedangkan Bupati/Walikota belum berani menerbitkan SK karena khawatir yang bersangkutan menuntut diangkat menjadi PNS atau menuntut tunjangan dari pemerintah daerah, sementara anggaran pemda juga terbatas. Padahal janjinya semasa kampanye.” Begitu kata Yuyun saat diskusi tersebut.

Lanjut Yuyun: “Guru honorer di sekolah swasta diangkat oleh yayasan melalui SK Ketua Yayasan. Secara logika, sebenarnya ketika yang mengangkat guru honorer adalah pihak yayasan, maka yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraannya pun adalah pihak yayasan, tetapi realitanya di lapangan, kemampuan yayasan dalam membayar honor guru honorer sangat terbatas, apalagi yayasan-yayasan kecil.” Keluh Yuyun

Zul Akbar memiliki pemikiran dan pandangan sisi lain, bahwa: “banyak yang hanya mengandalkan honor untuk guru honorer dari dana BOS, sementara dana BOS pun sudah ada aturan peruntukannya. Di yayasan-yayasan yang sudah mapan, mungkin kesejahteraan guru honorer relatif lebih baik.” Kata Zul

Lanjutnya, Zul katakan: “pada saat diangkat menjadi guru honorer, sebenarnya guru-guru honorer mendapatkan penjelasan berkaitan dengan hak dan kewajibannya. Ada perjanjian kerja yang dibuat antara pihak yayasan dengan yang bersangkutan. Ketika yang bersangkutan menerima pekerjaan tersebut, berarti sudah memahami segala konsekuensinya, termasuk urusan honor. Walau demikian, pada akhirnya guru-guru tetap mengharapkan kesejahteraan yang lebih baik karena bersandar kepada Undang-undang guru dan dosen dimana seorang guru pun berhak mendapatkan kesejahteraan yang layak.” Tutup Zul

Hal inilah yang terus memacu guru-guru honorer untuk terus memperjuangkan nasibnya. Mereka bersatu membuat organisasi, melakukan audiensi dengan pemerintah, unjuk rasa menuntut perhatian pemerintah meningkatkan kesejahteraan mereka. Bagi guru-guru honorer yang belum diangkat menjadi PNS, minimal mendapatkan upah setara UMK atau ada tunjangan khusus.

Guru honorer perannya tidak dapat dikesampingkan. Mereka secara nyata telah banyak berkontribusi mencerdaskan bangsa. Banyak yang bertugas di daerah terpenecil, terdalam, dan terluar. Terus mengabdi walau harus menempuh medan yang berat menuju sekolah, tapi di sisi lain mendapatkan honor yang minim.

Untuk peningkatan penghormatan terhadap guru khususnya kesejahteraan guru honorer. Walau demikian, tidak elok juga ketika guru-guru hanya menuntut kesejahteraan tapi tanpa disertai dengan peningkatan profesionalisme dan kinerja yang tercermin dalam peningkatan kualitas kinerja dan kompetensi yang dibuktikan dalam aktivitas.(TN-06)

Related Articles

Back to top button